Beramplop Hujan Bulan Desember


BERAMPLOP HUJAN BULAN DESEMBER

Terdengar begitu lembut  air  hujan yang tanpa sadar seakan mengayun nada beriring tegas dengan intonasi kabut dingin. Telinga ini faham betul bagaimana gemercik air hujan itu menari nari pada bumi yang satu dan pada langit yang sama. Pagi itu sang surya malu menampakkan dirinya, deru  gumpalan awan hitam menyelimuti rotasi satu putaran bumi. Namun kamis tetap berotasi dengan waktu yang tidak bisa berbohong. Perputaran waktu yang sudah dinanti ribuan umat manusia  untuk menjalankan apa yang dianugrahkan Tuhan di kehidupan mereka.
Diriku tersudut dalam tempat 3x4 meter dengan lima penghuni dan dua pasang  jendela yang meghadap jalan raya. Tempat sederhana penuh dengan tangan-tangan hangat didalamnya. Di situlah masa remajaku mulai tergores warna warni oleh para pemberi arti. Pondok pesantren sebuah tempat yang sangat nyaman tidak besar dan tidak begitu kecil terkesan indah dengan kesederhanaanya tempat di mana aku tancapkan mimpi-mimpiku. Pagi itu dunia masih remang-remang dengan gerimis bulan Desember yang menghanyutkan terus memaksa untuk tetap menutup mata dan melanjutkan tidur pulas semalam. Sungguh aku tidak ingin beranjak dari pojokan tempatku berbaring setiap malam. Dengan mata sayu dan setengah sadar aku melihat jam yang tergantung di dinding klasik berwarna putih pucat kekuning-kuningan. Tiga jarum jam yang selalu berputar seakan menjerit memaksaku bangun untuk segara memulai hari. Kembali, kutercengang saat melihat dua jendela di sebelah kiriku, kulihat  jalanan masih gelap lalu-lalang kendaraan pun tidak terdengar ramai seperti biasanya. Hanya terdengar gerimis-gerimis manja yang sesekali dengan durasi tertentu volume hujanya bertambah deras. Namun, waktu tidak mau bernegosiasi sedikit saja, secara tidak langsung  jam otomatis dalam tubuhku berontak menyeretku untuk bangun dan segera bergegas untuk memenuhi kewajibanku menimba ilmu di sekolah.
Berjalan keluar kamar dengan membawa handuk merah kusut diriku mulai melangkah untuk mandi satu dua langkah dan banyak langkah kulewati empat kamar lainya. Kamarku, yang paling ujung dan berhadapan langsung dengan jalan raya. Ketika perjalanan menuju kamar mandi, seperti biasanya aku sering menengok kamar teman lainnya. Aku terkejut saat membuka pintu, ternyata mereka belum siuman atau mungkin sengaja tidak bangun karena memang suasana bergandeng hujan bulan Desember sangat cocok untuk berpetualang ke dunia mimpi. Secara garis besar dengan durasi menitan aku selesai berbenah  dan siap untuk mewujudkan mimpi-mimpi hebatku. Semua mimpi yang pernah aku tuliskan dengan keyakinan aku pasti bisa mewujudkanya hingga nantinya akan menjadi jejak- jejak indah seorang  yang berani bermimpi.
Tinggal satu ikatan sepatu kiriku dan semua persiapan selesai. Akan tetapi gerimis tak kunjung reda. Desember memanglah waktu di mana sering terjadi hujan di pagi hari. Jalanan mulai agak ramai. Dengan kondisi jalan yang basah, semua pengendara cenderung memacu kendaraan dengan pelan. Disebalah kiri jalan berdiri dua sejoli sekamar seperjuangan yang akan pergi ke sekolah.  Gubrakkk!!! Suara benda terjatuh, sontak dengan respon cepat aku mencari sumber suara tersebut dengan mata was- was, tak lama kemudian kutemukan apa yang berbunyi seperti benda terjatuh tadi. Tampak dari berseberangan tempatku berdiri seorang pengendara motor  mengalami masalah dengan kendaraanya. Suatu kompnen sepeda motorya terlepas dan berceceran di tengah  jalan, benda itu sepertinya berfungsi sebagai dudukan pelat nomer pada sepeda motor. Dengan wajah panik pengendara itu kebingungan tak lain yang setelah kuperhatikan dia adalah seorang perempuan. Nampak  jelas wajah polos yang ling-lung setengah ketakutan, aku meperhatikanya dengan pasti perempuan itu.
 Kita menolongya dengan cepat dan membawanya ketepi untuk meperbaiki apa yang harusnya diperbaiki oleh anak teknik seperti kami. Setelah semua keadaan membaik aku menoleh ke arahnya tak sadar dirinya ternyata memakai seragam yang sama seperti yang kukenakan, terucap kata terimakasih darinya dengan lembut berintonasikan rasa gugup. Akupun menoleh kearahnya dengan jantung berdetak tak karuan sembari tersenyum kujawab kata terimakasihnya “sama-sama mbak, sudah kewajiban kita untuk saling tolong- menolong” dengan nada pelan aku berbicara sambil mengibas-ibaskan kedua tanganku yang sedikit kotor sehabis memasang komponen yang terjatuh tadi. Lalu  perempuan itu melepas helm yang ia kenakan saat itu dia memakai jilbab biru tua yang begitu anggung dengan lipatan sederhana. Mata minimalis terkesan elok dengan hidung kecil mancungya, pipi tembem memerah dengan bibir tipis yang begitu indah membuatku terpesona akan paras kecantikanya. Kami saling pandang tanpa kata selama lima detik. Mata indahnya terus kupandangi walaupun singkat sekali durasinya. Mulutku bungkam sedikit bergetar aku tak mampu menggambarkan keindahan bola matanya. Adrenalinku meningkat dengan cepat keringat dinginpun mulai mebasahi dahiku. Tertunduk malu diriku di hadapan perempuan itu saat dia mengayungkan tanganya dengan mengucap “Ariana”. Senyum indah terlukis diwajahnya saat ia mengucapkan namanya. Dengan raut berharap dia menunggu diriku mengayungkan tangan juga untuk membalas jabat tangan seperti layaknya orang berkenalan. Untuk kedua kalinya dia mengucapkan namanya “Ariana” namun aku tidak berani menjabat tanganya. Dalam hati ini berontak bergejolak sangat ingin membalas genggaman jabat tanganya yang tulus tapi boro-boro melakukanya tubuhku saja dari tadi masih bergetar karena mengagumi keindahan mahkluk ciptaan Tuhan yang dihadirkan berselimut gerimis bulan Desember.
Dengan tergesa-gesa kusebutkan namaku “Flow” meskipun itu bukan nama asliku tapi aku akrab dengan panggilan si Flow disekolah. Nampak ekspresi kecewa Ariana padaku karena mungkin perkenalan tadi terkesan aku mengabaikanya. Hati ini resah dihantui rasa bersalah saat aku mulai berjalan pelan kedepan dari tempat kita menepi tadi. Langkah demi langkah aku berjalan pelan sambil ku hitung dalam hati seperti orang kurang kerjaan karena salah tingkah. Suara motor menyala dari belakang setelah Ariana nampak sudah selesai berbenah. Terkejut luar biasa diriku saat dia mengendarai sepeda motornya dan mendekati diriku yang berjalan didepanya. Terucap dari Ariana  “mas” aku pun menjawab “iya mbak”  kita pun kembali bertatap mata tanpa kata dan benar-benar tanpa kata. Waktu seolah berhenti sejenak saat aku memandanginya , kami sangat dekat sekali hanya berjarak satu jengkalan kaki. Terdiam kami berdua dan aku paham betul saat itu Ariana mau menyampaikan sesuatu namun dia sangat malu dan kebingungan. Akupun merasakan sejenis ikatan yang entah sangat sulit dijelaskan dengan apapun. Tidak akan kulupakan senyuman itu, aku sangat berterima kasih pada Tuhan telah mengizinkanku memiliki kesempatan indah di dunia. Salah satunya bertatap mata dengan Ariana yang menghanyutkan membuat hati riang luar biasa dalam hitungan detik. Dengan rasa sungkan dan kebingungan atas kesengajaan pandangan pertama yang sangat indah ini Ariana lalu menawari tumpangan kesekolah. Jantung ini kembali diguncangkan perkataan lembutnya aku hanya bisa terdiam dengan masih memandingnya yang begitu anggun.
Sangat jarang seorang perempuan menawari tumpangan pada lelaki yang baru ia kenal. Biasanya ada rasa gengsi jika seorang perempuan berada di posisi Ariana. Namun sebaliknya Ariana begitu tulus menawarkan tumpangnya kepadaku. Aku sangat bimbang pada waktu itu dan otakku seakan mati tak bisa befikir karena situasi yang berselimut gerimis membuat rasa iba padanya. “Duluan aja mbak, nanti aku bisa numpang temanku yang biasanya sebentar lagi lewat, lagi pula sudah deket ko mbak!” ujarku. Ariana mengdengar itu dia langsung beranjak pergi meninggalkanku dan berkata “terima kasih mas.” untuk yang terakhir kalinya dia mengucapkan itu. Kemudian dia menuju ke sekolah yang tinggal kurang lebih 600 meteran. Sejak saat itu hingga saat ini masih kusesali karena sungkan menerima tawaranya.
Haripun berganti menjadi Jumat yang penuh semangat, pagi ini hujan sudah reda selepas subuh tadi. Seperti biasa aku selalu mengawali pagiku dengan secangkir kopi dan membangungkan teman-teman kamar lainya untuk ngopi bareng sebelum berbenah untuk sekolah. Kami selalu sengaja menikmati kopi di pagi hari dengan pemandangan jalan raya serta keindahan suara mesin yang berirama. Sudah melekat dan menjadi budaya kami para santri ngopi bareng. Curhatan pagi selalu mewarnai kisah kasih di pondok pesantren. Candaan cerdas dan buli semakin memperkuat tali persaudaraan kami. Banyak pembelajaran dari obrolan sederhana ini, kita saling bertukar pengalaman melatih kesabaran dan menghormati sesama kawan. Ditemani kopi kita menikmati hidup dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Secangkir kopi yang pahit akan lebih nikmat bila kita tau cara menikmatinya. Begitu pula kehidupan ini yang kadang pahit akan terasa nikmat bila kita tahu cara menikmatinya. Tepat pukul 06:00 semua bergegas dan berlomba mandi masih di tempat yang sama kami mandi bersama karena memang kuota kamar mandi kami cukup untuk lima belas orang sekaligus.
Indahnhya pagi ini berhias cuaca hangatnya mentari pemalu bulan Desember membuatku  sangat berharap. Setelah 24 jam yang panjang aku sangat merindukan Ariana yang telah menggetarkan hatiku dan memaksaku untuk memikirkanya semalaman suntuk. Seberang  jalan tempat kejadian kemarin terus kupandangi dengan sedikit membayangkan Ariana si bidadari surga. Aku tersenyum tidak jelas bak seperti orang kasmaran. Berharap kita bisa bertemu lagi pada saat itu tapi Ariana tidak kunjung lewat, mungkin dia sudah berangkat duluan “ pikirku”. Sesampainya di sekolah aku hanya terduduk diam di kelas sambil melanjutkan membayangkan Ariana si bidadari surga. Hari ini aku berdoa meminta pada Tuhan untuk dipertemukan padanya, aku sangat ingin mengenalnya lebih jauh. Ketika bel istirahat berbunyi aku melihatnya keluar kelas dan ternyata Ariana adalah anak Jurusan Tata Boga. Itu jurusan yang cocok dengan dirinya yang begitu anggun di mataku. Sebagai pengagum rahasia aku mengikutinya, melihatnya dari jauh sambil berandai-andai bisa dekat dengannya. Namun, ketika Ariana keluar kelas ia nampak menuju kelas anak Jurusan Komputer. Aku terus mengamatinya dari jauh, depan kelas jurusan komputer dibawah beringin tua terduduk aku di bawah dan menyudut tak terlihat oleh lalu-lalang siswa lainya. Tampak Ariana menghampiri lelaki jurusan komputer itu. Mereka berbicara di depan kelas dengan mesra. Melihat itu emosiku naik dan geram namun aku sadar aku ini siapa, aku hanya bocah tanpa kesangajaan yang berharap tinggi mendapatkan cinta Ariana. Pohon beringin tua mungkin menertawaiku yang dari tadi curiga terhadap gerak-geriku bersembunyi-sembunyi di bawahnya. Setelah itu aku mulai mencari tahu pada semua siswa yang bersangkutan dengan lelaki yang bersama Ariana.
Hati ini hancur berantakan seperti dibom dan pecah menjadi serpihan yang mungkin sulit untuk disatukan ketika tahu yang sebenarnya bahwa lelaki yang bersama Ariana tak lain merupakan pacarnya. Ingin aku berteriak, ingin aku menangis, namun air mata ini tidak akan mampu mengembalikan Ariana padaku. Aku hanya bisa berdoa agar dia bahagia bersama pacarnya. Sementara, pengagum rahasia sepertiku hanya bisa mengingat senyum indah yang ia gores dulu. Cinta yang sesungguhnya adalah merelakan semua hal demi kebahagiaan orang yang kita sayangi termasuk rasa cinta kita walupun menyakitkan.
Hujan bulan Desember deras malam ini, seperti tangisanku menyesali semuanya. Kenapa harus dipertemukan jika pada ahirnya tidak untuk disatukan. Dari sini aku sadar dan belajar banyak. Tuhan tidak akan memberi cobaan dan tanggung jawab di luar batas kemampuan hambanya dan Tuhan tidak pula memberi apa yang di luar kesanggupan hambanya. Tuhan menyayangi diriku dari  sudut pandang yang berbeda mungkin Tuhan melihatku sebagai hamba yang kuat. Mungkin ia mengajariku lewat kesakitan agar aku benar-benar paham akan rasa sakit itu sehingga membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin Tuhan lebih suka kalau diriku mengejar daripada diberi cuma-cuma dengan mudah. Aku yakin ini hanya masalah waktu dan aku percaya bahwa janji Tuhan semua akan indah pada waktunya itu benar-benar nyata. Karenanya, aku terus berharap lima detik pandangan pertama dahulu akan menjadi lima menit pertemuan selanjutnya. Lalu, akan menjadi lima jam cinta bersemi antara kita dan lima hari kita menyatukan perasaan ini sehingga menjadi lima bulan kita saling mengenal lebih dalam dan pada ahirnya akan menjadi lima tahun kita membina rumah tangga dan lima lima selanjutnya kita bahagia bersama. “Teruntuk kamu Ariana bidadari surgaku”. Semua momen ini beramplop hujan bulan Desember yang indah tidak akan aku lupakan dan akan terus kukejar. Akan kudapatkan sebelah tanganku yang hilang sehingga tidak akan ada lagi kata cinta bertepuk sebelah tangan.

   


















Judul cerpen    = BERAMPLOP HUJAN BULAN DESEMBER
Nama               = Bejo Wiliam kuncoro
Moto                = mulai tergores warna warni
Medsos            = bejo wiliam kuncoro @bejo_millenium
E-mail              = bejo24012000@gmail.com
No hp              = 085870865228
Diriku adalah seorang yang suka sekali dengan kopi. Terdapat kenimatan yang haqiqi ketika ku nikmati kopi di pagi hari dan diwaktu  senja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

beasiswa data print periode 1